Kamis, 08 Mei 2014

Masa Depan: Dokter vs. Akuntan



Jadi ceritanya, cita-citaku dari TK itu cuman satu: DOKTER.  Kelihatannya keren, kan? Pake jas lab, masker, sarung tangan karet, dipanggil ‘Bu Dokter’, dan bahkan kemungkinan nantinya punya suami yang seprofesi. 

Oh wow. 

Tapi apa yang aku lakuin disini?

 Revina Dewi, Aku, dan Menur Indreswari
di Kampus Bintaro STAN

Jauh dari cita-cita? Jelas.

I’m deeply in love with Biology. Not accountancy.

Semuanya dimulai setelah lulus SMA tahun 2013 kemarin. Bersikukuh masuk Fakultas Kedokteran dan sayangnya orang tua punya keinginan yang nggak sejalan. Mari kita katakan dengan… opsi kedua.
Opsi kedua ini sebenarnya sempat disinggung Ayah dan Bunda awal-awal kelas satu SMA dulu. Masuk ke STAN. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Awalnya Cuma ngangguk-ngangguk nggak jelas, berharap dua atau tiga hari kedepan Ayah atau Bunda bakal lupa sama sekolah yang ‘itu’. Sayangnya, mereka malah makin getol cari-cari info masuk STAN, dan bahkan mulai merembet ke sekolah-sekolah kedinasan yang lainnya. Bahkan ketika mendengar mengenai tidak dibukanya STAN untuk tahun masuk 2011 dan 2012, ayah masih aja rajin cari info-info lainnya di internet. Nggak terpengaruh.

Selama SMA, aku ambil jurusan IPA. SAINS. EKSAKTA. Bayangin apa aja yang aku lakuin selama tiga tahun di sekolah dulu, nggak banyak sangkut pautnya dengan apa yang aku tempuh disini.
Biologi? Coret. Akuntansi? Centang.

Diujung pengumuman SBMPTN, nggak usah dikasih tau hasilnya karena bikin nyesek, Ayah Bunda ngajak ngomong dengan serius di ruang tamu. Ya, di ruang tamu yang dulunya gaada TV. Kebayang gimana ngerinya? Tanpa terlalu memperhatikan kronologi, secara garis besar mereka bertanya; sejauh mana kesiapanku masuk Fakultas Kedokteran; sekuat apa usaha dan kemampuanku untuk bertahan disana; dan seingin apa aku menempuh pendidikan dokter.

Pertanyaan-pertanyaan ini bikin aku mikir ulang soal alasan dan latar belakang niatku buat jadi dokter.
Sejauh mana kesiapanku masuk Fakultas Kedokteran? Entahlah. Aku bahkan menolak ikut bimbingan di lembaga-lembaga bimbel persiapan UN dan SBMPTN dengan alasan terlalu capek. Sekolahku dimulai cukup pagi dan dipulangkan cukup sore, jadi aku tidak mengekspektasikan kekuatan dan daya tahan tubuhku untuk belajar terlalu tinggi. Sudahkah aku siap masuk kesana? Ya, aku yakin aku lolos masuk ke fakultas ‘itu’, dan kenyataannya memang… sudahlah. Tapi sudahkah aku siap untuk bertahan menjadi calon dokter? Enam tahun atau bahkan lebih belajar-praktikum-ujian-belajar-praktikum-ujian?

Lagi, sekuat apa usaha dan kemampuanku untuk bertahan disana? Secara kemampuan, aku yakin aku bisa bertahan. Tapi usahaku masih patut dipertanyakan. Jujur, jurusan yang kupilih hanya Pendidikan Dokter, Dokter dan Dokter. Tapi usahaku untuk mencari tahu usaha apa yang telah kulakukan untuk mempertahankan cita-cita ini, masih sangat kurang.

Terakhir, seingin apa aku menempuh pendidikan dokter?

Inilah yang menjadi ganjalan terbesarku. Cita-cita memang harus dikejar, tapi setidaknya pakai logika untuk menentukan jalan apa yang akan kita ambil nantinaya. Pertanyaannya; apa yang bikin aku ingin jadi dokter? Peluangnya? Nilai kebanggaannya? Atau apa? 

Ayah memberikan pandangan-pandangan mengenai masa depan. Mengenai posisiku sebagai putri sulung mereka. Mengenai kondisi keluarga kami. 

Keluargaku bukan orang kaya, bukan juga orang yang nggak punya apa-apa. Kami merasa kami berkecukupan, Alhamdulillah. Aku yakin nggak sulit buat keluarga kami untuk mendapatkan hal-hal remeh yang sebenarnya tidak terlalu penting, hanya untuk mengikuti gaya hidup. Tapi keluarga kecil kami tetaplah keluarga yang ingin masa depan yang lebih baik. Bukan cuma masa depanku, tapi juga masa depan adik-adikku.

Aku anak pertama. Sudah kewajibanku untuk membantu meringankan beban orang tua. Sudah tugasku untuk membantu adik-adikku agar kami semua menjadi keluarga yang lebih baik dari sebelumnya.  Inilah yang membuatku berpikir ulang; apa tujuanku?

Dengan hanya satu kali Ayah Bunda mengajakku berpikir seperti itu, aku merasa aku telah mulai dilibatkan dalam masa depan keluarga. Bukan hanya duduk diam menonton ketika mereka ada masalah, tapi juga membantu menyelesaikannya. Ide ini membuatku merasa senang. Gagasan mengenai keterlibatanku dalam keluarga ini membuatku merasa… dibutuhkan. 

Aku mulai yakin dengan jalan ini. Aku yakin Tuhan sudah menggariskan ini semua. Tanpa aku sadari, aku mulai berharap aku bisa masuk sekolah kedinasan. Aku ingin membuat keluargaku bangga. Bahkan ketika aku terlena, menganggap pendaftaran STAN masih cukup lama, aku bertemu dengan salah satu saudara jauh yang juga alumni STAN di Mal. Ya, di Mal. Beliau menginformasikan bahwa pendaftaran STAN dibuka mulai besok. Astaga, betapa mudahnya takdir ditemukan ketika sudah saatnya.

Aku menangis ketika menulis ini. Teringat bersemangatnya usaha keluarga kami. Bukan cuma aku yang berusaha untuk lolos. Ayah Bunda, dan bahkan adik-adikku ikut mendukung. Kami merasa memiliki satu visi misi tentang masa depan. Alih-alih merasa dimanfaatkan dan dikekang, aku merasa senang bisa berjuang bersama mereka. Aku senang, dan bangga. Kedua orang tuaku juga tidak menutupi rasa bangga mereka. Mereka menunjukkan dimana dan bagaimana aku sekarang didepan teman-temannya. Kami bahagia dengan jalan ini. Sekarang tinggal perjuanganku untuk bertahan dan lulus dari sekolah ini sebaik mungkin. Lalu bekerja. Memenuhi kewajibanku membahagiakan keluarga. Tidak, aku menulis ini tidak dengan terpaksa. Keluarga adalah segalanya. 

Kadang terpikir satu hal; apa yang terjadi kalau aku memaksakan diri masuk ke fakultas kedokteran?
Aku tidak akan berada disini. Aku tidak akan bertemu dengan teman-teman terbaik daari seluruh nusantara. Aku tidak akan merasakan rasanya bersekolah dengan biaya dari negara, dari rakyat, dan nantinya mengabdi untuk mereka. Aku tidak akan membuat orang tuaku dengan bangga menyebut aku bersekolah dengan gratis, meski sebenarnya biaya hidup dan transportasi masih mereka juga yang menanggung. Aku tidak akan menulis catatan ini, karena pikiran dan hatiku belum terbuka. 

Yah, untukku, tujuan hidup harus dikejar. Selama masih bisa berusaha. Selama masih mungkin dilakukan. Demi masa depanmu. Demi masa depan keluargamu. Adakah alasan lain untuk tidak membahagiakan orang tua?

Yang jelas, untukku, kemauan harus dicocokkan dengan pemikiran orang tua. Mereka lebih tahu mana yang terbaik. Jangan sepelekan hanya karena kita merasa kita lebih pintar dari mereka. Apa yang kita inginkan, belum tentu benar-benar menjadi jalan hidup di masa depan. Harus selalu ada plan A, plan B, plan C dalam hidup. Dunia ini dinamis, vroh. Kalau mereka tidak mengajakmu bicara, kamulah yang harus mencoba bertanya. Satu pilihan yang akan kamu ambil di masa krusial ini, sangat berpengaruh untuk masa depanmu.

Apa peluang yang telah kamu ambil? Apa peluang yang telah kamu lewatkan? 

Selamat berpikir, semoga sukses!

3 komentar:

  1. Semangat!!!

    Semua ada jalannya :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap ardii :D harus semangat! bantuin juga :p

      Hapus
  2. Aku bingung aku juga sedih membaca artikel ini rasanya campur aduk di sini aku mulai merasakan dan berfikir apakah aku harus menuruti keinginan orang tua atau mementingkan kepentingan ku. Rasanya seperti di tampar seribu kali.

    BalasHapus