Jadi ceritanya, cita-citaku dari TK itu cuman satu: DOKTER. Kelihatannya keren, kan? Pake jas lab, masker,
sarung tangan karet, dipanggil ‘Bu Dokter’, dan bahkan kemungkinan nantinya punya
suami yang seprofesi.
Oh wow.
Tapi apa yang aku lakuin disini?
Revina Dewi, Aku, dan Menur Indreswari
di Kampus Bintaro STAN
Jauh dari cita-cita? Jelas.
I’m deeply in love with Biology. Not accountancy.
Semuanya dimulai setelah lulus SMA tahun 2013 kemarin. Bersikukuh
masuk Fakultas Kedokteran dan sayangnya orang tua punya keinginan yang nggak
sejalan. Mari kita katakan dengan… opsi kedua.
Opsi kedua ini sebenarnya sempat disinggung Ayah dan Bunda
awal-awal kelas satu SMA dulu. Masuk ke STAN. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Awalnya
Cuma ngangguk-ngangguk nggak jelas, berharap dua atau tiga hari kedepan Ayah
atau Bunda bakal lupa sama sekolah yang ‘itu’. Sayangnya, mereka malah makin getol
cari-cari info masuk STAN, dan bahkan mulai merembet ke sekolah-sekolah
kedinasan yang lainnya. Bahkan ketika mendengar mengenai tidak dibukanya STAN untuk
tahun masuk 2011 dan 2012, ayah masih aja rajin cari info-info lainnya di
internet. Nggak terpengaruh.
Selama SMA, aku ambil jurusan IPA. SAINS. EKSAKTA. Bayangin apa
aja yang aku lakuin selama tiga tahun di sekolah dulu, nggak banyak sangkut
pautnya dengan apa yang aku tempuh disini.
Biologi? Coret. Akuntansi? Centang.
Diujung pengumuman SBMPTN, nggak usah dikasih tau hasilnya
karena bikin nyesek, Ayah Bunda ngajak ngomong dengan serius di ruang tamu. Ya,
di ruang tamu yang dulunya gaada TV. Kebayang gimana ngerinya? Tanpa terlalu
memperhatikan kronologi, secara garis besar mereka bertanya; sejauh mana
kesiapanku masuk Fakultas Kedokteran; sekuat apa usaha dan kemampuanku untuk
bertahan disana; dan seingin apa aku menempuh pendidikan dokter.
Pertanyaan-pertanyaan ini bikin aku mikir ulang soal alasan
dan latar belakang niatku buat jadi dokter.
Sejauh mana kesiapanku masuk Fakultas Kedokteran? Entahlah. Aku
bahkan menolak ikut bimbingan di lembaga-lembaga bimbel persiapan UN dan SBMPTN dengan
alasan terlalu capek. Sekolahku dimulai cukup pagi dan dipulangkan cukup sore,
jadi aku tidak mengekspektasikan kekuatan dan daya tahan tubuhku untuk belajar
terlalu tinggi. Sudahkah aku siap masuk kesana? Ya, aku yakin aku lolos masuk
ke fakultas ‘itu’, dan kenyataannya memang… sudahlah. Tapi sudahkah aku siap
untuk bertahan menjadi calon dokter? Enam tahun atau bahkan lebih
belajar-praktikum-ujian-belajar-praktikum-ujian?
Lagi, sekuat apa usaha dan kemampuanku untuk bertahan
disana? Secara kemampuan, aku yakin aku bisa bertahan. Tapi usahaku masih patut
dipertanyakan. Jujur, jurusan yang kupilih hanya Pendidikan Dokter, Dokter dan
Dokter. Tapi usahaku untuk mencari tahu usaha apa yang telah kulakukan untuk
mempertahankan cita-cita ini, masih sangat kurang.
Terakhir, seingin apa aku menempuh pendidikan dokter?
Inilah yang menjadi ganjalan terbesarku. Cita-cita memang
harus dikejar, tapi setidaknya pakai logika untuk menentukan jalan apa yang
akan kita ambil nantinaya. Pertanyaannya; apa yang bikin aku ingin jadi dokter?
Peluangnya? Nilai kebanggaannya? Atau apa?
Ayah memberikan pandangan-pandangan mengenai masa depan. Mengenai
posisiku sebagai putri sulung mereka. Mengenai kondisi keluarga kami.
Keluargaku bukan orang kaya, bukan juga orang yang nggak
punya apa-apa. Kami merasa kami berkecukupan, Alhamdulillah. Aku yakin nggak
sulit buat keluarga kami untuk mendapatkan hal-hal remeh yang sebenarnya tidak
terlalu penting, hanya untuk mengikuti gaya hidup. Tapi keluarga kecil kami
tetaplah keluarga yang ingin masa depan yang lebih baik. Bukan cuma masa
depanku, tapi juga masa depan adik-adikku.
Aku anak pertama. Sudah kewajibanku untuk membantu
meringankan beban orang tua. Sudah tugasku untuk membantu adik-adikku agar kami
semua menjadi keluarga yang lebih baik dari sebelumnya. Inilah yang membuatku berpikir ulang; apa
tujuanku?
Dengan hanya satu kali Ayah Bunda mengajakku berpikir
seperti itu, aku merasa aku telah mulai dilibatkan dalam masa depan keluarga. Bukan
hanya duduk diam menonton ketika mereka ada masalah, tapi juga membantu
menyelesaikannya. Ide ini membuatku merasa senang. Gagasan mengenai
keterlibatanku dalam keluarga ini membuatku merasa… dibutuhkan.
Aku mulai yakin dengan jalan ini. Aku yakin Tuhan sudah
menggariskan ini semua. Tanpa aku sadari, aku mulai berharap aku bisa masuk
sekolah kedinasan. Aku ingin membuat keluargaku bangga. Bahkan ketika aku
terlena, menganggap pendaftaran STAN masih cukup lama, aku bertemu dengan salah
satu saudara jauh yang juga alumni STAN di Mal. Ya, di Mal. Beliau menginformasikan
bahwa pendaftaran STAN dibuka mulai besok. Astaga, betapa mudahnya takdir
ditemukan ketika sudah saatnya.
Aku menangis ketika menulis ini. Teringat bersemangatnya
usaha keluarga kami. Bukan cuma aku yang berusaha untuk lolos. Ayah Bunda, dan
bahkan adik-adikku ikut mendukung. Kami merasa memiliki satu visi misi tentang
masa depan. Alih-alih merasa dimanfaatkan dan dikekang, aku merasa senang bisa
berjuang bersama mereka. Aku senang, dan bangga. Kedua orang tuaku juga tidak
menutupi rasa bangga mereka. Mereka menunjukkan dimana dan bagaimana aku
sekarang didepan teman-temannya. Kami bahagia dengan jalan ini. Sekarang tinggal
perjuanganku untuk bertahan dan lulus dari sekolah ini sebaik mungkin. Lalu bekerja.
Memenuhi kewajibanku membahagiakan keluarga. Tidak, aku menulis ini tidak
dengan terpaksa. Keluarga adalah segalanya.
Kadang terpikir satu hal; apa yang terjadi kalau aku
memaksakan diri masuk ke fakultas kedokteran?
Aku tidak akan berada disini. Aku tidak akan bertemu dengan
teman-teman terbaik daari seluruh nusantara. Aku tidak akan merasakan rasanya
bersekolah dengan biaya dari negara, dari rakyat, dan nantinya mengabdi untuk
mereka. Aku tidak akan membuat orang tuaku dengan bangga menyebut aku
bersekolah dengan gratis, meski sebenarnya biaya hidup dan transportasi masih
mereka juga yang menanggung. Aku tidak akan menulis catatan ini, karena pikiran
dan hatiku belum terbuka.
Yah, untukku, tujuan hidup harus dikejar. Selama masih bisa
berusaha. Selama masih mungkin dilakukan. Demi masa depanmu. Demi masa depan
keluargamu. Adakah alasan lain untuk tidak membahagiakan orang tua?
Yang jelas, untukku, kemauan harus dicocokkan dengan
pemikiran orang tua. Mereka lebih tahu mana yang terbaik. Jangan sepelekan
hanya karena kita merasa kita lebih pintar dari mereka. Apa yang kita inginkan,
belum tentu benar-benar menjadi jalan hidup di masa depan. Harus selalu ada
plan A, plan B, plan C dalam hidup. Dunia ini dinamis, vroh. Kalau mereka tidak
mengajakmu bicara, kamulah yang harus mencoba bertanya. Satu pilihan yang akan
kamu ambil di masa krusial ini, sangat berpengaruh untuk masa depanmu.
Apa peluang
yang telah kamu ambil? Apa peluang yang telah kamu lewatkan?
Selamat berpikir, semoga sukses!
Semangat!!!
BalasHapusSemua ada jalannya :-)
siap ardii :D harus semangat! bantuin juga :p
HapusAku bingung aku juga sedih membaca artikel ini rasanya campur aduk di sini aku mulai merasakan dan berfikir apakah aku harus menuruti keinginan orang tua atau mementingkan kepentingan ku. Rasanya seperti di tampar seribu kali.
BalasHapus