Minggu, 07 Desember 2014

Antara Harapan dan Kenyataan



Seseorang memintaku untuk mendeskripsikan apa itu ‘harapan’ saat aku menuduhnya memberikan harapan palsu pada orang lain.

Mendeskripsikan dan membandingkan dengan kata ‘kenyataan’.

Ketika aku diam, dia memberitahuku perbedaan mendasar dari ‘harapan’ dan ‘kenyataan’ dengan analogi sederhana;

“aku suka padamu.” Kenyataan.
“aku ingin dekat denganmu.” Harapan.

Harapan muncul setelah kenyataan. Ketika kenyataan yang ada tidak berjalan sesuai kemauanmu, benakmu mulai menyusun sinopsis harapan yang ingin kau wujudkan.

Jadi memang benar, tidak pernah ada seseorang yang bisa memberikan harapan, untuk siapapun. Yang ada, dirimu yang terlalu berharap, berekspektasi, karena dalam anganmu, itu bisa saja jadi kenyataan.

Tapi, tunggu.
Kamu tidak akan semudah itu berharap, berekspektasi, kalau orang itu tidak memberimu kesan ‘siap diharapkan’, meberimu amunisi feedback yang cukup untuk membuatmu yakin telah menyandarkan harapanmu pada orang yang tepat. Iya, ‘kan?

Sayangnya, mayoritas orang masih saja seenaknya menaburkan serpihan harapannya. Seperti dirimu yang terlalu berharap banyak pada orang yang bahkan tak pernah menanyakan kabarmu. Harapanmu adalah bakal dari kekecewaanmu, sayang, jika tidak menjadi nyata.

Aku tidak ingin kalian (dan bahkan aku sendiri) menutup mata mengenai kemungkinan dikecewakan. Kemungkinan terburuk itu selalu ada. Apapun yang sedang diusahakan, memiliki peluang untuk gagal.

Aku belajar hal yang penting setelah orang itu memintaku berpikir keras mengenai harapan dan kenyataan:

Akan selalu ada orang-orang yang mengecewakanmu. Sengaja atau tidak.

Rasa kecewa tidak dapat dihindari ketika kita mulai berharap. Akan selalu ada orang-orang yang cukup ‘jahat’ untuk memporak-porandakan asa-mu. Menjatuhkannya hingga hancur berkeping-keping.


Setelah mimpi-mu koyak, siapa yang bisa kita minta untuk bertanggung jawab?

Tidak ada!

Kebahagiaanmu adalah milikmu. Kamu, aku, kita, berhak bahagia. Dengan atau tanpa bergantung dengan orang lain.

Harapan kita sangat berharga. Jangan gantungkan ia terlalu tinggi pada orang yang tidak menghargai kita. Karena semakin tinggi harapan itu tergantung, saat ia jatuh, serpihannya akan semakin remuk berserak. Mustahil disatukan kembali.

Bukan berarti juga ini membuat kita takut untuk berarap. Berharaplah sewajarnya, berusahalah mewujudkannya (dengan usahamu sendiri. Gantungkan harapanmu pada bahumu sendiri. Agar kamu yakin bahwa bahumu tak akan mengkhianati tuannya untuk menjatuhkan asa yang telah tergantung tinggi, siap untuk dibawa berlari.) sekuat tenaga. Usaha dan doa tak akan mengkhianati.


Bagaimana jika harapanmu masih saja berhubungan dengan orang lain? Orang yang berpotensi tinggi mengecewakanmu?

Is that someone worth it?

Tanyakan kembali pada dirmu; ini harapanmu atau harapan orang lain. Ini bahagiamu aau bahagia orang lain. Setelah yakin, berusahalah kembali. Nasibmu tak akan berbalik sendiri kalau tidak dibalik dengan susah payah.


Sebisa mungkin, jadilah orang yang bisa diharapkan, ketimbang orang yang senantiasa berharap.

Semua orang tahu gimana sakitnya dikecewakan. Tapi yang tidak semua orang tahu, gimana caranya agar tidak dikecewakan. Kebanyakan orang masih saja menaburkan harapan dengan mudah dan murah, sehingga peluang dikecewakannya makin tinggi, peluang sakit hati dan nelangsa nya makin tinggi.

Padahal salah siapa?

Salah sendiri.

Siapa yang memintamu berharap?

Dirimu sendiri.

Siapa yang kesakitan setelah dijatuhkan?

Dirimu sendiri juga.

Jadi jangan meminta orang lain mengasihanimu setelah kamu terjatuh. Sama saja dengan berharap lagi, berharap ada orang yang peduli.

Berdirilah diatas kakimu sendiri, raih bahagiamu tanpa ‘merepotkan’ orang lain, syukur-syukur kalau mau berbagi.

Hidup itu terlalu indah untuk selalu dikecewakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar