Seseorang memintaku untuk mendeskripsikan apa itu ‘harapan’
saat aku menuduhnya memberikan harapan palsu pada orang lain.
Mendeskripsikan dan membandingkan dengan kata ‘kenyataan’.
Ketika aku diam, dia memberitahuku perbedaan mendasar dari ‘harapan’
dan ‘kenyataan’ dengan analogi sederhana;
“aku suka padamu.” Kenyataan.
“aku ingin dekat denganmu.” Harapan.
Harapan muncul setelah kenyataan. Ketika kenyataan yang ada
tidak berjalan sesuai kemauanmu, benakmu mulai menyusun sinopsis harapan yang
ingin kau wujudkan.
Jadi memang benar, tidak pernah ada seseorang yang bisa
memberikan harapan, untuk siapapun. Yang ada, dirimu yang terlalu berharap,
berekspektasi, karena dalam anganmu, itu bisa saja jadi kenyataan.
Tapi, tunggu.
Kamu tidak akan semudah itu berharap, berekspektasi, kalau orang
itu tidak memberimu kesan ‘siap diharapkan’, meberimu amunisi feedback yang
cukup untuk membuatmu yakin telah menyandarkan harapanmu pada orang yang tepat.
Iya, ‘kan?
Sayangnya, mayoritas orang masih saja seenaknya menaburkan
serpihan harapannya. Seperti dirimu yang terlalu berharap banyak pada orang
yang bahkan tak pernah menanyakan kabarmu. Harapanmu adalah bakal dari
kekecewaanmu, sayang, jika tidak menjadi nyata.
Aku tidak ingin kalian (dan bahkan aku sendiri) menutup mata
mengenai kemungkinan dikecewakan. Kemungkinan terburuk itu selalu ada. Apapun yang
sedang diusahakan, memiliki peluang untuk gagal.
Aku belajar hal yang penting setelah orang itu memintaku
berpikir keras mengenai harapan dan kenyataan:
Akan selalu ada orang-orang yang mengecewakanmu. Sengaja atau
tidak.
Rasa kecewa tidak dapat dihindari ketika kita mulai
berharap. Akan selalu ada orang-orang yang cukup ‘jahat’ untuk
memporak-porandakan asa-mu. Menjatuhkannya hingga hancur berkeping-keping.
Setelah mimpi-mu koyak, siapa yang bisa kita minta untuk
bertanggung jawab?
Tidak ada!
Kebahagiaanmu adalah milikmu. Kamu, aku, kita, berhak
bahagia. Dengan atau tanpa bergantung dengan orang lain.
Harapan kita sangat berharga. Jangan gantungkan ia terlalu
tinggi pada orang yang tidak menghargai kita. Karena semakin tinggi harapan itu
tergantung, saat ia jatuh, serpihannya akan semakin remuk berserak. Mustahil disatukan
kembali.
Bukan berarti juga ini membuat kita takut untuk berarap. Berharaplah
sewajarnya, berusahalah mewujudkannya (dengan usahamu sendiri. Gantungkan harapanmu
pada bahumu sendiri. Agar kamu yakin bahwa bahumu tak akan mengkhianati tuannya
untuk menjatuhkan asa yang telah tergantung tinggi, siap untuk dibawa berlari.)
sekuat tenaga. Usaha dan doa tak akan mengkhianati.
Bagaimana jika harapanmu masih saja berhubungan dengan orang
lain? Orang yang berpotensi tinggi mengecewakanmu?
Is that someone worth it?
Tanyakan kembali pada dirmu; ini harapanmu atau harapan
orang lain. Ini bahagiamu aau bahagia orang lain. Setelah yakin, berusahalah
kembali. Nasibmu tak akan berbalik sendiri kalau tidak dibalik dengan susah
payah.
Sebisa mungkin, jadilah orang yang bisa diharapkan,
ketimbang orang yang senantiasa berharap.
Semua orang tahu gimana sakitnya dikecewakan. Tapi yang tidak
semua orang tahu, gimana caranya agar tidak dikecewakan. Kebanyakan orang masih
saja menaburkan harapan dengan mudah dan murah, sehingga peluang dikecewakannya
makin tinggi, peluang sakit hati dan nelangsa nya makin tinggi.
Padahal salah siapa?
Salah sendiri.
Siapa yang memintamu berharap?
Dirimu sendiri.
Siapa yang kesakitan setelah dijatuhkan?
Dirimu sendiri juga.
Jadi jangan meminta orang lain mengasihanimu setelah kamu
terjatuh. Sama saja dengan berharap lagi, berharap ada orang yang peduli.
Berdirilah diatas kakimu sendiri, raih bahagiamu tanpa ‘merepotkan’
orang lain, syukur-syukur kalau mau berbagi.
Hidup itu terlalu indah untuk selalu dikecewakan.